Pilar Penjaga Wahyu
Hari-hari libur terutama di Aceh masih banyak anak-anak yang tetap mengaji, banyak materi utama mereka menghafal Al-Qur'an.
Kadang saya sangat cemburu dengan anak-anak penghafal Al-Qur'an. Mereka cerdas, bukan mudah menghafal, karena harus benar tajwid, etika, bacaan dan kelak mereka paham maknanya karena mereka bisa berhenti pada pemaknaan yang tepat, artinya mereka akan menguasai bahasa Arab.
Namun saya bersyukur, gairahnya semakin kemari semakin bagus. Dulu anak-anak penghafal Al-Qur'an dari kalangan santri bahkan keturunan ulama. Sekarang anak guru biasa kayak saya, anak tukang sayur, anak tukang gali kuburan, jago hafalan Qur'an. Mending hafal Qur'an bukan ketimbang hafal rumus Matematika, apalagi hafal trik chip. Matematika mah kagak perlu dihafal, buka catatan aja.
Dulu pula, zaman emak saya, jilbab aja bukan "kewajiban" dalam tradisi masyarakat, meski agama mengaturnya. Bahkan istri Teungku banyak sekedar selendang. Dulu, hafal Qur'an gak tren. Saya sendiri menghafal sebagian juz 'amma karena bermakmum dan ngikuti pelan.
Palingan setua ini ngafal Yasin, Waqiah, sedikit Al-Fath, As-Sajdah sama Al-Mulk, selain surat-surat pendek untuk kebutuhan shalat dan tahlilan. Ngaji depan anak-anak agam saya, harus saya pelankan bacaan. Kalu cepet, ada yang missing langsung kena tegur.
Karenanya kalau hari ini kita ditakutkan dengan tuduhan-tuduhan komunisme, justru jadi aneh. Kahidupan anak-naka generasi sekarang, meski digitalisasi tapi tetap punya atensi tinggi mengaji dan menghafal Qur'an, tidak ada larangan dari pemerintah bahkan difasilitasi. Dana dayah di Aceh besar lho.
Para penjaga wahyu Allah tersebut relatif memiliki karakter yang santun, bersahabat dan tentu saja cerdas.
Sekali lagi ilmu menghafal bukan ilmu mudah, harus punya trik, cara, pola n skema. Bukan sekedar berulang-ualang, gak sesederhana itu.
Dalam Matematika saja, banyak anak yang tidak menguasai Matematika karena hal yang fundamental, tidak menghafal perkalian. Para "penjauh" dan "pembenci" Matematika itu cuma satu alasannya, males hafal dan gak bisa kali-kali. Dan sampai hari ini, tidak ada pola terbaik dalam menguasai perkalian kecuali menghafal, meski selalu diingatkan dengan konsep penjumlahan berulang.
Selain karakter, ada satu hal yang penting dan sebenarnya ini settingan Allah. Setiap masa akan ada terus para penghafal Al-Qur'an, bukan sekedar kelengkapan ayat dalam 30 Juz, letak ayat dan tanda baca. Namun Begitulah cara Allah menjaga orisinalitas Al-Qur'an. Bukankah dari dulu para sahabat Rasulullah punya kecakapan menghafal Al-Qur'an, bukan sekedar mengulang-ngulang saat jadi Imam Shalat. Namun itulah cara Allah menjaga kalamnya tetap murni.
Mu'jizat Qur'an terjaga sampai kita di alam kubur. Kelak datanglah Munkar Nakir, bertanya dan menyiksa atas azab kubur yang dijanjikan Allah.
Tibalah pada seorang hamba yang ketika Nakir hendak memukulnya, menjelma menjadi sebuah makhluk bijak, dialah Al-Qur'an Surat Al-Mulk. Melarang Nakir memukul hamba ini karena di dadanya bersemayam Al-Qur'an.
Malaikat bertanya pada Allah, karena si hamba ternyata hamba yang fasiq. Allah mengabukan permintaan Surat Al-Mulk dan terjagalah si hamba dari azab kubur. Cerita ini tentu bukan khayalan saya, tapi nukilan dari ceramah Gus Baha.
Karena itu meski sudah udzur, sudah berkali-kali khatam Qur'an, seengaknya saya kepengen menghafal dari pola sy sendiri, kebiasaan mendengar berulang-ulang, dua juz terakhir saja.
Niatnya tentu bukan ikut lomba ngalahin anak-anak, apalagi tembus nasional. Setidaknya setiap muslim punya cita-cita menjadi pilar penjaga wahyu. Tentu saja internalisasi nilai Al-Qur'an sebagai upaya tadabbur dalam kehidupan sosial jauh lebih penting ketimbang "sekedar" menghafal.
(duh setelah ngetik kok kalimat terakhir kayak bahasa sepanduk 😃)
Tabarakallah
Matangkuli, 27 Juli 2021
Selamat mencoba
Ditulis 0leh:
Khairuddin, S.Pd., M.Pd, Guru SMAN 1 Lhoksukon, Ketua Harian PP JSDI, PP Ikatan Guru Indonesia
Sumber gambar: isykarima.com |
Kadang saya sangat cemburu dengan anak-anak penghafal Al-Qur'an. Mereka cerdas, bukan mudah menghafal, karena harus benar tajwid, etika, bacaan dan kelak mereka paham maknanya karena mereka bisa berhenti pada pemaknaan yang tepat, artinya mereka akan menguasai bahasa Arab.
Namun saya bersyukur, gairahnya semakin kemari semakin bagus. Dulu anak-anak penghafal Al-Qur'an dari kalangan santri bahkan keturunan ulama. Sekarang anak guru biasa kayak saya, anak tukang sayur, anak tukang gali kuburan, jago hafalan Qur'an. Mending hafal Qur'an bukan ketimbang hafal rumus Matematika, apalagi hafal trik chip. Matematika mah kagak perlu dihafal, buka catatan aja.
Dulu pula, zaman emak saya, jilbab aja bukan "kewajiban" dalam tradisi masyarakat, meski agama mengaturnya. Bahkan istri Teungku banyak sekedar selendang. Dulu, hafal Qur'an gak tren. Saya sendiri menghafal sebagian juz 'amma karena bermakmum dan ngikuti pelan.
Palingan setua ini ngafal Yasin, Waqiah, sedikit Al-Fath, As-Sajdah sama Al-Mulk, selain surat-surat pendek untuk kebutuhan shalat dan tahlilan. Ngaji depan anak-anak agam saya, harus saya pelankan bacaan. Kalu cepet, ada yang missing langsung kena tegur.
Karenanya kalau hari ini kita ditakutkan dengan tuduhan-tuduhan komunisme, justru jadi aneh. Kahidupan anak-naka generasi sekarang, meski digitalisasi tapi tetap punya atensi tinggi mengaji dan menghafal Qur'an, tidak ada larangan dari pemerintah bahkan difasilitasi. Dana dayah di Aceh besar lho.
Para penjaga wahyu Allah tersebut relatif memiliki karakter yang santun, bersahabat dan tentu saja cerdas.
Sekali lagi ilmu menghafal bukan ilmu mudah, harus punya trik, cara, pola n skema. Bukan sekedar berulang-ualang, gak sesederhana itu.
Dalam Matematika saja, banyak anak yang tidak menguasai Matematika karena hal yang fundamental, tidak menghafal perkalian. Para "penjauh" dan "pembenci" Matematika itu cuma satu alasannya, males hafal dan gak bisa kali-kali. Dan sampai hari ini, tidak ada pola terbaik dalam menguasai perkalian kecuali menghafal, meski selalu diingatkan dengan konsep penjumlahan berulang.
Selain karakter, ada satu hal yang penting dan sebenarnya ini settingan Allah. Setiap masa akan ada terus para penghafal Al-Qur'an, bukan sekedar kelengkapan ayat dalam 30 Juz, letak ayat dan tanda baca. Namun Begitulah cara Allah menjaga orisinalitas Al-Qur'an. Bukankah dari dulu para sahabat Rasulullah punya kecakapan menghafal Al-Qur'an, bukan sekedar mengulang-ngulang saat jadi Imam Shalat. Namun itulah cara Allah menjaga kalamnya tetap murni.
Mu'jizat Qur'an terjaga sampai kita di alam kubur. Kelak datanglah Munkar Nakir, bertanya dan menyiksa atas azab kubur yang dijanjikan Allah.
Tibalah pada seorang hamba yang ketika Nakir hendak memukulnya, menjelma menjadi sebuah makhluk bijak, dialah Al-Qur'an Surat Al-Mulk. Melarang Nakir memukul hamba ini karena di dadanya bersemayam Al-Qur'an.
Malaikat bertanya pada Allah, karena si hamba ternyata hamba yang fasiq. Allah mengabukan permintaan Surat Al-Mulk dan terjagalah si hamba dari azab kubur. Cerita ini tentu bukan khayalan saya, tapi nukilan dari ceramah Gus Baha.
Karena itu meski sudah udzur, sudah berkali-kali khatam Qur'an, seengaknya saya kepengen menghafal dari pola sy sendiri, kebiasaan mendengar berulang-ulang, dua juz terakhir saja.
Niatnya tentu bukan ikut lomba ngalahin anak-anak, apalagi tembus nasional. Setidaknya setiap muslim punya cita-cita menjadi pilar penjaga wahyu. Tentu saja internalisasi nilai Al-Qur'an sebagai upaya tadabbur dalam kehidupan sosial jauh lebih penting ketimbang "sekedar" menghafal.
(duh setelah ngetik kok kalimat terakhir kayak bahasa sepanduk 😃)
Tabarakallah
Matangkuli, 27 Juli 2021
Selamat mencoba
Ditulis 0leh:
Khairuddin, S.Pd., M.Pd, Guru SMAN 1 Lhoksukon, Ketua Harian PP JSDI, PP Ikatan Guru Indonesia