Catatan Kaki 16 Tahun Tsunami di Aceh
Meski bukan penyintas, 26 Desember 2004 adalah titik yang membagi hidup saya menjadi episode sebelum dan sesudahnya. Tsunami memperteguh pilihan saya untuk bekerja di sektor sosial.
Saya datang ke Banda Aceh beberapa hari setelah gempa di pesisir barat Sumatra menghantar gelombang yang menghumbalang sembilan negara Asia dan Afrika.
Dari Indonesia, Maladewa, Srilanka hingga Somalia, tercatat 175.000 korban jiwa. Melihat kerusakan pemukiman dan banyaknya jenazah di Lhok Nga membuat saya berpikir, “Saya tidak akan percaya ada kerusakan sebesar ini jika tidak melihat langsung.”
Aroma pemukiman pesisir Aceh pasca tsunami tersimpan di benak saya dan dapat muncul tanpa diminta. Di tahun 2010, saya menulis tesis tentang dampak psikologis tsunami.
Tsunami Samudera Hindia dan pengalaman sesudahnya tidak hanya tentang salah satu bencana terbesar dalam dunia modern, tapi juga kisah tentang solidaritas global dan kekuatan penyintas. Tsunami memobilisasi simpati global untuk bantuan kemanusiaan terbesar dalam sejarah (pada saat itu), dalam jumlah lembaga dan dana internasional.
Lebih dari angka-angka tersebut, pelaku utama pemulihan pasca tsunami adalah masyarakat Aceh sendiri. Aceh tidak hanya membuat kata tsunami menjadi kosa kata sehari-hari, tapi juga memberikan makna untuk kata penyintas (survivor): bahwa mereka yang mengalami bencana berperan aktif untuk bangkit, bukan hanya korban yang pasif.
Saya tetap di Banda Aceh 16 tahun sesudah gelombang tsunami. Mungkin saja saya akan meninggal dan jasad saya terurai menjadi tanah di Aceh.
Pertama, peningkatan kapasitas adalah syafaat besar yang sangat saya syukuri. Meski bukan ahli, saya hari ini berkali lipat lebih berdaya dibanding ketika datang di Bandara Blang Bintang dua windu lalu.
Kedua, 16 tahun menetap di sebuah daerah pasca bencana mengajarkan saya bahwa mereka yang datang ke daerah pasca bencana bisa menjadi aset, ancaman, atau bahkan beban seiring perjalanan waktu.
Hal di atas berkelindan dengan poin ketiga, Aceh memiliki identitas yang kuat serta kegemilangan sejarah masa lalu yang menjadi lensa untuk memahami dan mengilhami berbagai aksi, termasuk perlawanan terpanjang di Nusantara.
Aroma pemukiman pesisir Aceh pasca tsunami tersimpan di benak saya dan dapat muncul tanpa diminta. Di tahun 2010, saya menulis tesis tentang dampak psikologis tsunami.
Saat itu saya mengumpulkan, membaca, dan meringkas dengan detail semua artikel jurnal tentang dampak psikologis tsunami dalam Bahasa Inggris yang terindeks di PsychInfo. Setelah meringkas 40 artikel, semalaman saya kembali mencium aroma jenazah syuhada tsunami dalam apartemen di Harrisburg, 10.000 KM dari Banda Aceh.
Tsunami Samudera Hindia dan pengalaman sesudahnya tidak hanya tentang salah satu bencana terbesar dalam dunia modern, tapi juga kisah tentang solidaritas global dan kekuatan penyintas. Tsunami memobilisasi simpati global untuk bantuan kemanusiaan terbesar dalam sejarah (pada saat itu), dalam jumlah lembaga dan dana internasional.
Untuk Aceh saja, ada 7 milyar dolar donasi yang melibatkan 500 lembaga internasional. Terdapat 16.000 personil milter lintas negara yang ditugaskan dalam tanggap darurat sehingga upaya tanggap darurat tersebut menjadi operasi militer non-perang paling besar.
Di bawah pohon kelapa, kami berkegiatan dengan anak-anak sementara di atasnya, belasan helikopter Seahawk bersicepat ke USNS Mercy membawa mereka yang terluka. Bicara tentang tsunami 2004 membuat saya terkesan berlebihan karena banyaknya kata ter- dan paling.
Lebih dari angka-angka tersebut, pelaku utama pemulihan pasca tsunami adalah masyarakat Aceh sendiri. Aceh tidak hanya membuat kata tsunami menjadi kosa kata sehari-hari, tapi juga memberikan makna untuk kata penyintas (survivor): bahwa mereka yang mengalami bencana berperan aktif untuk bangkit, bukan hanya korban yang pasif.
Kami yang datang dari tempat-tempat yang jauh ini adalah catatan kaki dalam kisah utama masyarakat Aceh membangun kembali hidup mereka.
Saya tetap di Banda Aceh 16 tahun sesudah gelombang tsunami. Mungkin saja saya akan meninggal dan jasad saya terurai menjadi tanah di Aceh.
Nah, apa tiga pengalaman selama 16 tahun yang bisa menjadi catatan hati selepas doa terlantun untuk para syuhada dan mereka yang terus merebut hidup? Pemulihan pasca tsunami mempertemukan saya dengan pasangan, tapi ini tidak usah ikut dihitunglah ya.
Pertama, peningkatan kapasitas adalah syafaat besar yang sangat saya syukuri. Meski bukan ahli, saya hari ini berkali lipat lebih berdaya dibanding ketika datang di Bandara Blang Bintang dua windu lalu.
Kedua, 16 tahun menetap di sebuah daerah pasca bencana mengajarkan saya bahwa mereka yang datang ke daerah pasca bencana bisa menjadi aset, ancaman, atau bahkan beban seiring perjalanan waktu.
Di tahun-tahun awal pasca tsunami, saya bekerja bersama guru-guru SD dan SMP untuk pemulihan psikososial berbasis sekolah. Karena dianggap sebagai pemuda berbudi, ada guru yang ingin memperkenalkan saya dengan putrinya.
Kata beliau, “Siapa tahu berjodoh.” Adakah penerimaan yang lebih baik dari ketika seseorang berinisiatif menjadikan kita sebagai anggota keluarga intinya? Dalam konteks itu, saya dianggap membawa nilai positif.
Saya tersadar bahwa saya juga bisa menjadi ancaman ketika dalam suatu wawancara pekerjaan di perguruan tinggi, pertanyaan pertama pewawancara adalah “Anda orang apa? … Jadi, tidak ada setetes pun darah Aceh?” Saya kemudian mendapat saran “Dengan kualifikasi yang Anda miliki, Anda bisa bekerja di perguruan tinggi-perguruan tinggi besar di pulau Jawa. Mendaftar di sini hanya akan mengurangi jatah warga tempatan menjadi PNS.”
Pengalaman tersebut memang hanya sekali saya alami dalam 16 tahun, tapi the moral of the story is perhaps don’t stay too long in a particular post disaster area kecuali jika Anda bisa membangun ceruk kontribusi baru agar tetap relevan ketika kapasitas lokal semakin terbangun dan sumber daya semakin mengecil.
Hal di atas berkelindan dengan poin ketiga, Aceh memiliki identitas yang kuat serta kegemilangan sejarah masa lalu yang menjadi lensa untuk memahami dan mengilhami berbagai aksi, termasuk perlawanan terpanjang di Nusantara.
Pertanyaan tentang ke-Aceh-an biasa saya dapatkan. Definisi utama Aceh memang kata benda, bahwa menjadi Aceh adalah mereka yang memiliki darah Aceh atau terlahir di Aceh sebagaimana termaktub dalam Pasal 221 Undang-Undang Pemerintahan Aceh.
Akan tetapi, bisakah Aceh juga menjadi kata sifat bagi mereka yang mencintai Aceh? Mungkinkah Aceh menjelma kata kerja bagi mereka yang mencoba berkontribusi untuk Aceh?
Ah, kata "berkontribusi" mungkin berpretensi terlalu tinggi. Yang mendesak adalah kita terus belajar menjadi manusia dan memanusiakan sesama, di mana pun kita berada. Jeut?
Penulis: Ibnu Mundzir